tobasatu, Medan | Komisi C DPRD Sumut menyesalkan managemen PT Indonesia Alumunium (PT Inalum) yang enggan membayarkan Pajak Air Permukaan (PAP). Inalum menolak membayar pajak tersebut dengan dasar pertimbangan perlakuan khusus Harga Dasar Air (HDA), belum mampu menjadi subjek pajak serta memberatkan keuangan.
Penolakan membayar pajak PAP itu diungkapkan managemen PT Inalum dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi C DPRD Sumut, Selasa (10/3/2015) di Gedung Dewan.
BACA JUGA:
PT Inalum sebelumnya selama 30 tahun lebih dikuasai oleh Pemerintah Jepang. Tepat pada 31 Oktober 2013, Inalum diambil alih Pemerintah Indonesia dan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Karena itulah, berdasarkan Perda dan Pergub maka PT Inalum wajib membayar pajak untuk menambah kas Negara maupun Pemerinta Daerah (Pemda).
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi C Chaidir Ritonga, MM menyatakan Inalum jangan seperti Negara dalam Negara. Sebab selama 30 tahun rakyat Indonesia hanya jadi penonton. “Kita berharap PT Inalum dapat berkontribusi bagi pemasukan daerah. Apalagi PT Inalum terletak di Sumatera Utara, harus ada kontribusinya bagi daerah ini,” sebut Chaidir.
Selain itu menurutnya perdanya sudah ada disahkan tahun 2010 dan sudah diketok pergub tahun 2011. Anggota Komisi C lainnya, Satrya Yudha Wibowo, ST. MM juga mengatakan kewajiban yang harus dibayar PT Inalum, baik Pemda maupun PT Inalum masing-masing mempunyai hitungan pajak yang dianggap benar.
Dispenda juga sudah 11 kali melakukan pertemuan agar PT Inalum bisa menyelesaikan kewajiban. Dasar PT Inalum menolak membayar PAP salah satunya adalah Pergub No. 24 tahun 2011 dengan dasar PT Inalum belum menjadi subjek hukum. “Perusahaan baru harus taat hukum,” ujar Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Menurut Satrya boleh berbeda asumsi perhitungan, tapi tidak boleh melawan hukum. PT Inalum tidak patuh terhadap hukum dengan mengatakan PT Inalum belum menjadi subjek hukum. Kosasih selaku Direksi PT Inalum mengatakan menurut undang-undang wajib pajak bisa mengajukan keberatan setelah sebelumnya membayarkan pajak.
Menurutnya metode perhitungan pajak pembangkit listrik, apabila kualitas air berubah. Sedangkan kualitas air Sungai Asahan yang dimanfaatkan tidak berubah, sehingga inilah yang menjadi dasar pihak PT Inalum tidak membayar PAP. Selain itu PT Inalum juga merasa terbebani dengan pajak penerangan jalan untuk listrik yang dihasilkan.
“Mohon perhitungan pajak berdasarkan rupiah/kwh setiap beban listrik yang dihasilkan. Jadi jika listrik yang dihasilkan kecil, maka beban pajak juga berkurang,” ujar Kosasih saat rapat.
Sementara itu Rita mewakili Pemda menyatakan, berdasarkan Perda ada dijelaskan bahwa pengambilan dan pemanfaatannya dikenai pajak PAP juga. “Otomatis PT Inalum yang memanfaatkan Sungai Asahan juga dikenai wajib pajak, meskipun secara fisik Sungai Asahan tidak berubah,” ujar Rita. (ts-02)