BACA JUGA:
tobasatu.com, Medan | Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, H Raden Muhammad Syafii SH,M.Hum menyatakan pihaknya saat ini masih terus mengumpulkan dan menyerap informasi terkait pandangan masyarakat terhadap penyempurnaan RUU yang ditargetkan rampung akhir tahun ini.
Berdasarkan masukkan dari masyarakat, Pansus mendapati sejumlah hal yang dinilai krusial untuk direvisi, diantaranya adanya usulan untuk melibatkan unsur TNI. Hal ini penting, guna membatasi kekuasaan mutlak (abuse of power) yang saat ini ada di tubuh Polri.
Karena itu, menurut Raden Syafii yang akrab disapa Romo, RUU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu diganti namanya menjadi RUU Penanggulangan Teroris.
“Sebab untuk melakukan penanganan tindak pidana dan penegakan hukum merupakan kewenangan Polri. Dengan demikian tidak ada celah bagi TNI untuk masuk dan terlibat dalam penanganan teroris. Kita khawatirkan kedepan akan terjadi kekuasaan yang mutlak di tubuh Polri dalam penanganan kasus terorisme,” tutur Romo pada Dialog Tokoh-Tokoh Tentang Revisi UU Penindakan dan Pencegahan Terorisme, yang digelar di Raz Hotel Jalan Dr.Mansyur Medan, Senin (30/5/2016).
Dialog yang dimoderatori Ahmad Taufan Damanik tersebut juga dihadiri Deputi Bidang Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Irjen Pol Drs Arief Dharmawan, SH, MH, serta sejumlah tokoh asal Sumatera Utara diantaranya Abdul Wahab Dalimunthe, Sofyan Raz, dan lainnya. Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly yang dijadwalkan hadir dalam dialog tersebut, batal hadir tanpa alasan yang jelas.

Menurut Raden Syafii pemberantasan terorisme seyogianya mengedepankan spirit penegakan hukum, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Namun dalam kenyataannya, Densus 88 selaku lembaga yang ditugaskan negara melakukan pengamanan teroris, kerap mengabaikan prinsip tersebut.
“Belum lupa kita dengan kasus Siyono yang ditangkap Densus 88 karena menjadi terduga teroris. Siyono meninggal karena mengalami kekerasan di tubuhnya. Hasil forensik menunjukkan bahwa tidak ada tanda-tanda perlawanan dari Siyono,” tutur Romo.
Dan kasus Siyono bukanlah yang pertama. Komnas HAM merilis data, ada 120 kasus serupa yang pernah terjadi seperti kasus yang dialami Siyono, dimana terduga teroris ditangkap dan dianiaya oleh anggota Densus, meski pada akhirnya tidak terbukti yang bersangkutan merupakan anggota teroris.
“Jadi kekuasaan Polri harus dibatasi. Caranya perlu diberi kewenangan kepada TNI untuk memberantas terorisme di Indonesia. Jadi TNI bukan sekadan di BKO kan,” ujar politisi Partai Gerindra tersebut.
Sementara Deputi Bidang Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Irjen Pol Drs Arief Dharmawan, SH, MH dalam kesempatan itu menjelaskan strategi pencegahan aksi terorisme yang dilakukan BNPT adalah dengan mengklasifikasikan teroris dalam tiga kategori yakni inti, militan dan simpatisan.
Menurutnya, mereka yang seringkali menjadi terduga teroris adalah kelompok masyarakat yang kurang berpendidikan sehingga mudah dipengaruhi dan dicuci otaknya untuk melakukan aksi teror, dengan doktrin mereka akan membebaskan bangsa Indonesia dari jajahan pemerintah Indonesia sendiri. (ts-02)
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News.