tobasatu.com, Medan | Ada yang unik dari pertemuan antara Komisi A DPRD Sumut dengan masyarakat Adat Matio Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Tobasa, Senin (6/6/2016).
Pasalnya, masyarakat yang datang mengadukan adanya dugaan perampasan lahan yang ditengarai dilakukan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di kawasan Desa Parsoburan, menyampaikan paparan dihadapan Anggota Komisi A menggunakan bahasa Batak, yang merupakan bahasa sehari-hari mereka.
BACA JUGA:
Maklum, mayoritas yang hadir dalam pertemuan tersebut merupakan orang ‘bermarga’. Selain Ketua Komisi A Sarma Hutajulu yang berasal dari Dapil Tobasa, hadir pula dalam pertemuan itu Fernando Simanjuntak, Richard Sidabutar, Anhar Monel dan Burhanuddin Siregar SE.
Pun sebagian pihak terkait juga yang diundang merupakan orang Batak sebut saja mewakili TPL hadir salah satu direksi Leonard Hutabarat, dan Humas Chairuddin Pasaribu. Ada juga Kadis Kehutanan Tobasa A Napitupulu, Kepala Desa Parsoburan Kemas Simangunsong serta dari pihak Pemkab dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat.
Hal ini pun mengundang gelak tawa hadirin yang memenuhi ruang rapat Komisi A DPRD Sumut di Gedung Dewan Jalan Imam Bonjol, Medan, tersebut. Sebab banyak juga hadirin termasuk kalangan wartawan yang tidak mengerti bahasa Batak.
“Tolong translet dulu apa kata Bapak ini,” sebut salah seorang pengunjung, saat perwakilan masyarakat adat Matio, Junjungan Siagian melakukan pemaparan soal dugaan perampasan lahan yang mereka lakukan dengan menggunakan bahasa Batak.
Akhirnya melalui Ketua Komisi A Sarma Hutajulu yang menerjemahkan penjelasan Junjungan, diketahui bahwa masyarakat adat Matio merasa PT TPL telah melakukan kriminalisasi terhadap mereka dengan dalih konsensi. Sebab, mereka yang hendak mengusahai lahan yang sudah turun temurun mereka miliki dituding telah melakukan perambahan lahan secara illegal hingga sebagian warga terpaksa berurusan dengan aparat kepolisian.
Junjungan Siagian juga menyampaikan keheranannya mengapa kuburan nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun berada di Desa Parsoburan, belakangan diklaim TPL sebagai tanah negara dan masuk dalam areal konsensi PT TPL.
“Tolonglah tanah nenek moyang kami ini dikeluarkan saja dari kawasan hutan negara. Kami lelah berhadapan dengan TPL,” ujarnya.
Warga adat Matio lainnya, Parsaroan Siagian juga menuturkan bahwa saat ini hanya tersisa 11,5 Ha dari sekitar 1.500 ha lahan di Desa Parsoburan yang belum diklaim oleh siapapun. Sementara selebihnya sudah diklaim oleh TPL sebagai lahan konsensi mereka.
Sementara itu Tagor mewakili direksi PT TPL Leonard Hutabarat dihadapan Anggota Komisi A menjelaskan, bahwa PT TPL menguasai lahan milik negara berdasarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Industri (HTI) sesuai Keputusan Menhut No.493/KPTS-II/92 jo SK.351/2004 jo SK.58/2011, dengan jangka waktu 35 tahun ditambah 1 daur tanam (lebih kurang 45 tahun).
Konsesi di areal seluas 188.050 hektar dilakukan di kawasan hutan register dan tersebar di 12 kabupaten (Simalungun, Asahan, Tobasa, Taput, Humbahas, Samosir, Dairi, Pakpak Bharat, Tapsel, Paluta, Sidimpuan). Berdasarkan izin konsesi dimungkinkan pengembangan HTI dengan tanaman pokok ekaliptus seluas 70% dari luas konsesi.
Seluruh areal kerja TPL, menurut Tagor, sudah selesai ditatabatas dan dikukuhkan dengan SK Menhut 704/2013 tanggal 21 Oktober 2013. (ts-02)