BACA JUGA:
tobasatu.com, Medan | Praktik pungutan liar (pungli) masih menjadi momok bagi pelaku Usaha Kecil Menengah dan Mikro (UMKM) di Sumatera Utara dengan menjadi beban terbesar di rantai nilai usaha. Dana pungli ini membebani hampir 30 persen dari biaya operasional usaha.
“Jadi sangat beralasan jika kemudian pemerintah sudah seharusnya menanggapi persoalan ini secara serius dan tegas,” kata Ketua Forum Daerah Usaha Kecil dan Menengah (Forda UKM) Sumut, Lie Ho Pheng, didampingi Sekretarisnya Fachriz Tanjung, Wakil Ketua Bidang Advokasi T. Bobby Lesmana, dan pengurus lain, dalam Refleksi akhir tahun 2016 di Sekretariat Forda UKM Sumut/Café Pondok Pisang, Jalan Tempuling Medan, Rabu (28/12).
Menurut pengusaha perabot ini, meskipun Presiden RI Joko Widodo telah menerbitkan Perpres RI No. 87/2016 tentang Pemberantasan Pungli yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tim Saber Pungli untuk wilayah Sumut pada 12 Oktober lalu, praktik pungli masih terjadi di jalur distribusi.
Ho Pheng mengatakan, pungutan tidak resmi di sepanjang jalur distribusi merupakan persoalan yang paling banyak menyedot biaya dan pemborosan waktu pengusaha.
“Banyak angkutan niaga pelaku UKM dicegat di pinggir jalan lintas timur-barat Sumatera Utara maupun jalan Medan-Banda Aceh, oleh yang mengatasnamakan sebuah organisasi. Jika tidak berhenti dan memberi uang singgah, angkutan dan sopir kita mendapat ancaman,” ungkapnya sembari menunjukkan bukti-bukti kwitansi pungli oleh oknum preman dengan mengatasnamakan organisasi pekerja dan kepemudaan.
Lie Ho Pheng menyebutkan, bukti pungli yang diterima Forda UKM Sumut adalah yang terbaru, yakni paska dibentuknya Satgas Saber Pungli.
“Jadi kami berharap kepada bapak Kapolda dan Kapolri, kiranya Saber pungli juga mengikis semua elemen, termasuk para preman,” lanjut pengusaha perabot ini.
Sementara itu Fachriz Tanjung menunjukkan beberapa foto mobil niaga, yang bagian baknya ditempeli tanda (merk/logo) dari lembaga/organisasi tertentu yang menerima setoran bulanan/tahunan, sebagai pengaman ketika melintasi di jalan. “Dalam satu mobil, bisa ada sekitar 3 hingga 7 tanda/merk/logo,” kata Fachriz.
Jadi pungli terhadap mobil niaga ini terjadi ketika menurunkan atau menaikkan barang, ditambah lagi iuran wajib setiap bulan/tahun sebagai pengaman di jalan. “Ada pengusaha yang menolak ikut bergabung, akibatnya kaca mobilnya dilempar hingga pecah ketika melintas di jalan,” lanjut Fachriz yang pengusaha kopi ini.
Menurutnya, aksi pungli hulu hilir UMKM telah menjadi beban usaha terbesar yang harus ditanggung pengusaha.
“Di hulu, pelaku UKM acapkali harus menyisihkan dana untuk banyak proposal lembaga organisasi dan kepemudahaan yang masuk setiap bulannya, mulai dari proposal pelantikan organisasi kepemudaan sampai sumbangan THR lebaran dan tahun baru. Di hilir, mereka harus berhadapan dengan pungli-pungli di jalanan,” ujarnya.
Fachriz menyebutkan, ‘pemalakan’ ini biasanya dilakukan oleh preman yang berlindung di bawah organisasi/ lembaga tertentu. Modusnya, saat mobil niaga berhenti untuk menurunkan produk ke sebuah toko/kios, preman ini datang menyodorkan kwitansi pungutan, meski pun mereka sama sekali tidak ikut bekerja menurunkan barang. Para preman ini akan memaksa sopir untuk membayarnya, atau akan terjadi pertengkaran dan pengancaman bila sang sopir menolaknya.
Untuk setiap kunjung (satu trip) di satu daerah, misalnya Belawan, bila penurunan produk terjadi di beberapa titik, maka pungutannya juga terjadi beberapa kali, dan bila semua dijumlahkan bisa mencapai antara Rp120 ribu hingga Rp150 ribu.
“Begitu juga di Tanjungmorawa, Lubukpakam, Galang, Stabat, Pangkalan Brandan dan daerah lainnya,” ungkap Fachriz. (ts-09)








