tobasatu.com, Lombok | Berwisata ke Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak lengkap bila tidak melakukan wisata budaya ke Desa Sade, tempat bermukimnya suku Sasak yang merupakan suku asli Pulau Lombok.
Perkampungan suku Sasak di Desa Sade, Kabupaten Lombok Tengah terletak di areal seluas 3,5 hektar . Terdapat 150 rumah berukuran kecil di perkampungan itu, beratapkan tepas dan berlantaikan tanah, yang saat ini dihuni sekitar 700 jiwa.
BACA JUGA:
Yang menarik dari Suku Sasak adalah keunikan tradisi kawin culiknya. Jika lazimnya seorang pria yang sudah siap menikah akan melamar anak gadis pujaan hatinya, namun hal tersebut merupakan suatu hal yang terlarang bagi Suku Sasak, karena melanggar adat. Pria suku Sasak harus membawa lari calon mempelai wanita yang ingin dinikahinya, untuk kemudian mendapatkan restu dari keluarga.
Anto, salah seorang pemuda suku Sasak yang ditemui tobasatu.com saat berkunjung ke Desa Sade pada Sabtu (7/10/2017), menuturkan kawin culik ala Suku Sasak sudah menjadi tradisi yang dilakukan turun-temurun sejak 5 abad yang lalu. Dimana diketahui hingga kini, perkampungan Sade sudah didiami oleh 15 generasi.
Tradisi kawin culik, menurut Anto hingga kini masih dianut oleh suku Sasak. Pun pernikahan dilakukan dengan Sepupu Misan, yakni saudara sepupu, yang masih memiliki hubungan kekerabatan.
Prosesi kawin culik dituturkan Anto, dimana seorang pria membawa kabur anak gadis yang ingin dinikahinya secara diam-diam, dan disembunyikan di suatu tempat selama berhari-hari di rumah kerabat sang pria. Nantinya orangtua si gadis yang merasa kehilangan, akan melaporkan hal tersebut ke ketua adat, barulah selanjutnya utusan dari keluarga laki-laki akan mendatangi rumah pihak perempuan, dan membahas kelanjutan rencana pernikahan.
Selain kawin culik, menurut Anto, pria Suku Sasak juga mengenal kawin paksa. Bila kawin lari dilakukan pasangan yang suka sama suka namun berbeda halnya dengan kawin paksa, yakni melarikan anak gadis yang ingin dinikahi, meski sang gadis tidak cinta atau tidak suka dengan laki-laki tersebut.
“Karena perempuannya sepupu misan, maka perempuannya harus mau kalau dibawa lari karena sudah ketentuan adatnya begitu,” ujar Anto.
Perempuan suku Sasak juga dikenal memiliki keahlian dalam menenun. Karena itu tak heran di perkampungan suku Sasak di Desa Sade, wisatawan juga bisa menyaksikan wanita Sasak menenun kain, dan bisa membeli kain tenunan tersebut, dengan harga yang bervariasi.
“Setiap wanita Sasak harus bisa menenun dulu baru boleh menikah. Karena itu disini setiap wanita Sasak memiliki pekerjaan menenun dan kami juga menjual kain tenun untuk menambah income,” sebut Anto.
Hal unik lainnya di Desa Sade, adalah meski suku Sasak mayoritas beragama Islam, namun mereka masih menganut kepercayaan Hindu yang sangat kuat.
Suku Sasak mempercayai kerbau merupakan hewan terhormat, karena itu mereka memajang kepala kerbau di dalam rumah. Selain itu suku Sasak juga memiliki ritual untuk mengepel lantai rumah yang terbuat dari tanah dengan kotoran kerbau yang masih basah, karena karena dipercayai akan mendatangkan berkah.
Menurut Anto, karena populasi suku Sasak terus bertambah, maka dibuatlah ketentuan. Bahwa mereka yang berhak menempati rumah asli perkampungan suku Sasak di Desa Sude, adalah orangtua dan anak bungsunya yang laki-laki. Sementara di luar itu, harus keluar dari perkampungan dan mencari kediaman sendiri yang berdekatan dengan daerah tersebut.
Hingga kini meski sudah 5 abad berlalu namun kelestarian adat suku Sasak masih terjaga dengan baik, dan dilestarikan oleh pemerintah setempat, sehingga wisatawan baik domestik maupun mancanegara menjadikan Desa Sude sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi orang. (ts-02)