tobasatu.com, Medan | Bobby Nasution bersemangat mengumpulkan tokoh-tokoh di Kota Medan yang sudah berbuat untuk kebaikan dan kemajuan ibu kota Sumatera Utara ini.
BACA JUGA:
Teranyar, pada Senin (17/2/2020) sore di Ompugende Kopi Komplek Tasbi Medan, Penggagas Kolaborasi Medan Berkah itu menemui tiga sineas Kota Medan yang selama ini sudah berkarya.
Adalah Djenni Buteto, Hendri Norman dan Andy Hutagalung. Menarik, dua nama pertama saat ini sedang berduet dalam proyek film bertema Kota Medan berjudul A Tousand Midnight in Kesawan.
Sedangkan Andy Hutagalung senantiasa setia dengan proyek film dokumenter. Kabarnya Andy juga sedang menggarap film beresiko tinggi, yakni meliput pawang harimau di tengah hutan lebat.
Dijelaskan Bobby, maksud silaturahmi ini adalah untuk saling mengenal dan mendengar dari sosok yang sudah berbuat di Kota Medan.
Mungkin dengan diakusi tersebut ada yang bisa dijadikan kekuatan perbaikan Kota Medan. “Kami ingin berkolaborasi untuk kemajuan Medan yang lebih baik dari berbagai sisi,” kata Bobby.
Wakil Ketua Umum HIPMI tersebut ingin mengajak sineas lokal menunjukkan karyanya dan mendiskusikan hambatan dalam berkarya.
Bobby menjelaskan pihaknya saat ini sudah membuat program movie night setiap Sabtu malam di Kopi Jolo Jl Cik Ditiro Medan yang memutar film-film karya sineas Kota Medan.
“Kami juga mau minta masukan untuk memajukan film Medan agar dikenal dan bisa bersaing dengan karya dari sineas Kota lain,” lanjut suami Kahiyang Ayu.
Tak hanya itu, Bobby juga menginginkan identitas Kota Medan bisa dimunculkan lewat film. “Kami ingin putar film abang-abang dan kakak-kakak untuk dikenalkan. Kemudian kita diskusikan supaya dunia perfilman Kota Medan maju,” urai jebolan S2 Agribisnis IPB itu.
Sementara itu, Andy Hutagalung sineas dokumenter Kota Medan menceritakan pengalaman membuat film dokumenter berbahaya tentang pawang harimau di pedalaman hutan. Soal film ini, masih dalam proses untuk waktu yang sudah cukup lama.
Dikatakan Andy pula terkait dunia perfilman di Medan, gairah filmmaker di Medan dimulai menggeliat pada 2004. Dan pada 2012 beberapa dari film maker kumpul membuat Omnibus bernama komunitas film sumut.
Andy mengatakan dunia film Medan rumit karena kurang ruang aksi bahkan eksekusi. Penghargaan untuk karya film Medan dalam bentuk sesungguhnya kurang, bukan hanya money orianted.
“Padahal Medan tidak kekurangan talent. Semangat juga bagus, bahkan untuk menggalang dana sendiri. Kata orang film itu mahal tapi bisa juga dibuat oleh anak-anak Medan dengan swadaya,” papar Andy.
Andy juga menyinggung soal biaya pembuatan film. “Film pendek minimal 1-5 juta rupiah untuk durasi 15 menit. Timnya kawan semua, itu untuk akomodasi dan konsumsi. Untuk film yang tayang di bioskop anggaran dana antara 8-15 miliar rupiah,” terang Andy lagi.
Kepada Bobby, Andy berharap pemerintah juga harus hadir di kalangan film maker. “Masalah kita klasik, permodalan dan kekurangan ruang apresiasi,” lanjut Andy.
Sementara Hendry Norman dan Djenny Buteto menjelaskan, kegelisahan film maker di Medan tak lain ada kekurangan man power.
“Kesulitannya yang paling dirasa adalah ketiadaan man power. Kita butuh produser, talent sudah cukup di Medan. Man power itu yang tidak ada. Film akan rilis, berhenti karena tidak ada dana,” kata Hendry.
Djenny Buteto menjelaskan, saat ini pihaknya sedang dalam proses garapan film fiksi bertajuk Kota Medan. Film berjudul A Thousand Midnight in Kesawan tersebut akan mulai syuting Maret 2020 ini.
Film yang ditulis sendiri oleh Djenny Buteto itu bakal banyak menceritakan Kota Medan. Dikatakan Djenny ada sekitar 20 lokasi di Kota Medan yang akan dijadikan lokasi syuting.
“Yang terlibat seluruhnya talenta lokal. Termasuk kru dan pemeran. Durasi film ini sekitar 80 menit,” kata Djenny. (ts/rel)