Bila Pilkada Tetap Dilanjutkan, Berpotensi Langgar HAM

676
Bila Pilkada Tetap Dilanjutkan, Berpotensi Langgar HAM
Ketua Divisi Kebijakan Publik Network For Indonesian Democratic Society (Netfid) Indonesia Provinsi Sumatera Utara, Mardiansyah

tobasatu.com, Medan | Potensi pelanggaran HAM akan mencuat bila Pilkada tetap dilaksanakan.

Hal ini terungkap pada rapat pengurus Network For Indonesian Democratic Society (Netfid) Indonesia Provinsi Sumatera Utara yang diselenggarakan secara virtual belum lama ini.

Ketua Divisi Kebijakan Publik Network For Indonesian Democratic Society (Netfid) Indonesia Provinsi Sumatera Utara, Mardiansyah, mengecam tindakan pemerintah, Komisi II DPR RI, bersama penyelenggara Pemilu yang terkesan mengabaikan HAM dengan tetap melanjutkan tahapan Pilkada. Pasalnya, korban terpapar pandemi Covid-19 semakin hari semakin tinggi.

“Nyawa manusia tidak bisa diganti,” ungkapnya.

Hadir dalam rapat tersebut Sekretaris Mas Khairani, Bendahara Windy Khairunnisa, para ketua-ketua divisi, serta anggota lainnya.

Menurutnya, pemerintah, Komisi II DPR RI, bersama penyelenggara Pemilu tidak sensitif dan aspiratif terhadap situasi yang dihadapi negeri ini.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Ketua Netfid Indonesia Provinsi Sumatera Utara Hanief Palopo Wibowo, bahwa dengan belum terkendalinya penyebaran Covid-19 maka penundaan tahapan pilkada memiliki landasan yuridis yang kuat.

Hal ini tertuang dalam Dalam Pasal 201 A Perppu No. 2/2020 yang mengatur mengenai Penundaan Pemungutan Suara, menyatakan bahwa, ‘Pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (6) ditunda karena terjadi bencana non alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) Jo. Pasal 201 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 A Perppu No. 2/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Uu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Lebih lanjut menurut Hanief, jika tetap dilaksanakan maka akan melanggar dari segi HAM.
“Mengingat hak untuk hidup sebagai bagian dari hak yang tidak dapat dicabut (non-
derogable right) yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945, Pasal 4 UU No. 39/1999 tentang HAM dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menegaskan keabsolutannya untuk tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk kondisi darurat. Jaminan hak atas kesehatan ditetapkan dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 UU No. 39/1999 tentang HAM, Pasal 12 ayat (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005) dan UU Nomor 36 Tahun 2009. Jaminan hak atas rasa aman, tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 dan Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. (ts03)