Sumatera Darurat Kekerasan Seksual, RUU PKS harus Masuk Prolegnas 2021

966
Dokumentasi foto massa yang meminta agar pemerintah segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

tobasatu.com, Medan | Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat setiap tahun. Untuk wilayah Sumatera setiap tahun terdata setidaknya ada 250 kasus kekerasan seksual yang terjadi. Oleh karena itu,  Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil Sumatera mendesak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dapat masuk ke dalam Prolegnas prioritas dan segera disahkan.

Hal itu terungkap dalam konfrensi pers yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil di Sumatera yang tersebar di provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Bandar Lampung melalui platform zoom, Kamis (25/9/2020).

Rahmi Meri Yenti dari WCC Nurani Perempuan menyebutkan kalau saat ini situasi darurat kekerasan seksual sudah terjadi di Sumatera. “Kita ini sudah darurat kekerasan seksual, lebih dari 250 kasus kekerasan seksual terjadi setiap tahunnya,” ujar Rahmi.

Dipaparkannya, untuk provinsi Sumbar, jumlah kasus kekerasan seksual berdasarkan data WCC Nurani Perempuan tahun 2016 sebanyak 56 kasus, 2017 sebanyak 82, 2018 sebanyak 65, 2019 sebanyak 52 dan tahun 2020 sebanyak 34. Provinsi Jambi berdasarkan data dari APM Jambi, tahun 2016 sebanyak 19, 2017 sebanyak 7, 2018 sebanyak 18, 2019 sebanyak 12 dan tahun 2020 sebanyak 8. Bengkulu berdasarkan data WCC Cahay Perempuan dan PUPA Bengkulu, tahun 2016 sebanyak 21, 2017 sebanyak 26, 2018 sebanyak 23, 2019 sebanyak 16 dan 2020 sebanyak 25.

Berikutnya, provinsi Sumatera Selatan berdasarkan data WCC Palembang tahun 2016 sebanyak 126 kasus, tahun 2017 sebanyak 112 kasus, tahun 2018 sebanyak 106 kasus, tahun 2019 sebanyak 93 kasus dan tahun 2020 sebanyak 57 kasus. Sumatera Utara berdasarkan data PESADA Sumut, Aliansi Sumut Bersatu, Pusaka, Hapsari dan LBH Apik Medan, tahun 2016 sebanyak 42 kasus, tahun 2017 sebanyak 70, tahun 2018 sebanyak 64, tahun 2019 sebanyak 75 dan tahun 2020 sebanyak 61.

Provinsi Aceh berdasarkan data dari LBH APIK Aceh dan Flower Aceh, tahun 2016 belum terdata, 2017 sebanyak 81, tahun 2018 sebanyak 27, tahun 2019 sebanyak 72 dan tahun 2020 sebanyak 17 kasus. Bandar Lampung berdasarkan data LBH Bandar Lampung, tahun 2016 hingga tahun 2018 belum terdata, tahun 2019 sebanyak 40 kasus dan tahun 2020 sebanyak 45 kasus. Riau berdasarkan data LBH Pekanbaru tahun 2016 belum terdata, tahun 2017 sebanyak 2 kasus, tahun 2018 sebanyak 5 kasus dan tahun 2019 serta tahun 2020 masing-masing sebanyak 7 kasus.

Total keseluruhan kasus kekerasan seksual tahun 2016 sebanyak 264 kasus, tahun 2017 sebanyak 378 kasus, tahun 2018 sebanyak 308 kasus, tahun 2019 sebanyak 367 kasus dan tahun 2020 sebanyak 254 kasus.

Lebih lanjut dijelaskan Rahmi, bentuk berdsarkan data tersebut bentuk kekerasan seksual yang terjadi diantaranya perkosaan, termasuk perkosaan di ranah keluarga kandung (incest), pelecehan seksual, eksploitasi seksual, traficking yang dibarengi kekerasan seksual, pemaksaan perkawinan, sodomi, kekerasan dalam pacaran, pemaksaan aborsi dan kekerasan berbasis gender online.

Dalam penanganan korban kekerasan seksual, pendamping korban mendapatkan beragam tantangan dan hambatan. Sri Rahayu dari Hapsari Sumut mengungkapkan sulitnya mendampingi korban kekerasan seksual ketika pelakunya adalah orang yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat desa. “Pelaku yang merupakan orang berpengaruh di tengah masyarakat menjadi tantangan kami, di samping aparat penegak hukum yang tidak berpihak kepada korban juga tidak adanya rumah aman di Deliserdang,” kata Rahayu.

Begitu juga Rita Ramadhani dari Embun Pelangi, Kepri menyebutkan tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam pendampingan korban selalu diminta untuk mencari bukti sendiri juga saksi, tidak adanya rumah aman. Meski pun ada shelter tapi tidak ada biaya untuk makan dan lainnya.

“Termasuk kita kesulitan dalam biaya visum, karena biayanya bisa mencapai Rp1 juta untuk satu kasus,” terang Rita.

Hambatan dan tantangan yang umum dihadapi pendamping korban adalah Victim Blaming (menyalahkan korban kekerasan seksual) yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum, pemerintah dan masyarakat luas, Proses penegakan hukum yang tidak memprioritaskan kepentingan terbaik bagi korban kekerasan seksual. Impunitas (tidak diminta pertanggungjawaban hukum oleh negara) masih sering terjadi terhadap pelaku kekerasan seksual. Minimnya pemulihan terhadap korban.

“Kasus kekerasan seksual tidak henti-hentinya terjadi, untuk itulah kami menuntut DPR RI segara memasukkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual  ke dalam Prolegnas Prioritas  yang akan disidangkan 9 Oktober nanti dan segera mensahkannya demi perlindungan yang hakiki bagi korban kekerasan seksual yang selama ini terabaikan oleh negara,” papar Rahmi. (ts-02)