tobasatu.com, Medan | Seorang pejabat publik adalah mereka yang menduduki jabatan strategis, yang digaji menggunakan uang rakyat.
Karena itu, warga negara sebagai pemberi mandat dan pembayar pajak, memiliki hak mengawasi dan menuntut sanksi terhadap pelanggaran hukum maupun etika yang dilakukan oleh pejabat publik.
Hal ini dikatakan Farid Wajdi, anggota Komisi Yudisial periode 2015-2020, sebagai salah satu narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bersama Hapsari dan Rumah Literasi Ranggi dengan tema “Etika dan Hukum Pejabat Publik” yang digelar Jumat siang (11/8/2023) di Rumah Literasi Ranggi, Kompleks PWI, Desa Sampali, Deliserdang.
Dalam paparannya, ia menyebutkan bahwa etika publik kerap dianggap tidak memiliki kekuatan sanksi berat sehingga sering terjadi pembiaran. Padahal setiap profesi memiliki kode etik yang memaksa pelanggarnya diberi sanksi teguran hingga pemecatan atau bahkan bisa diseret ke ranah hukum.
“Konsekuensi pejabat publik adalah dikontrol oleh publik. Oleh sebab itu sudah seharusnya ketika menjabat ia harus kebal telinga dan kelu lidah, terhadap kritik publik sebagai bagian dari fungsi kontrol publik sehingga pejabat publik bekerja sesuai fungsinya,” ujar Farid yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Farid mengutip pemikiran seorang pemikir Immanuel Kant (1724-1804) tentang bagaimana seorang pejabat publik atau profesional hukum berpedoman dalam menekuni profesinya. Bahwa dalam hukum, seseorang dinyatakan bersalah jika ia terbukti melanggar hak orang lain. Dalam etika, seseorang sudah dianggap bersalah saat ia berpikir untuk melanggar hak orang lain.
Hal senada disampaikan pendiri HAPSARI, Laili Zailani, narasumber diskusi lainnya. Ia menyebutkan masalah pelanggaran etika pejabat publik sering diabaikan, dan di beberapa kasus justru diseret-seret ke ranah domestik. Padahal selaku pejabat publik persoalan etika adalah hal yang serius karena berkenaan dengan kepercayaan publik dan rasa keadilan.
“Misalnya masalah penelantaran ekonomi dan perselingkuhan, ini kerap diseret ke ranah domestik sehingga menjadi masalah keluarga. Padahal ini sudah pidana, hukum kekerasan dalam rumah tangga, yang sanksinya sangat serius,” ujarnya.
Laili menambahkan, korban yang melaporkan kasus KDRT yang pelakunya adalah pejabat publik kepada institusi pejabat tersebut malah dianggap berlebihan, bahwa itu bukan masalah etika apalagi hukum pidana sehingga harus diselesaikan secara kekeluargaan. Kesesatan pikir semacam ini seharusnya tidak dimiliki pejabat publik yang memiliki kompetensi dan kesadaran hukum.
“Seperti kasus yang sedang kita advokasi saat ini yakni dugaan pelanggaran etik oleh pejabat publik yang penanganannya sangat mencederai rasa keadilan, bahkan pelapor malah dikriminalisasi. Publik harus marah terhadap perlakuan ini, karena rasa kepercayaan publik yang dikhianati, padahal mereka duduk sebagai pejabat publik atas mandat publik,” ujarnya.
Ketua Umum FJPI, Uni Lubis, menyebutkan tingkat kepercayaan publik sangat dipengaruhi oleh etika dan kinerja pejabat instansi pemerintah. Uni mengambil contoh kasus dugaan suap pejabat pajak Rafael Alun yang tidak saja membuat publik enggan membayar pajak, namun juga menjatuhkan nama Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dianggap tidak mampu mengawasi internal institusinya.
“Flexing atau pamer harta oleh pejabat publik di sosial media pasti jadi sorotan publik. Media langsung cek LHKPN apakah sesuai atau tidak, dan segera menjadi sasaran doxing netizen jika pejabat publik atau keluarganya pamer harta,” ujar Uni.
Dia menegaskan, pejabat publik dan institusinya harus dapat dipercaya agar program kerja pemerintah dapat berjalan baik di masyarakat. Ketika seseorang menerima amanah sebagai pejabat publik, maka segala sikap dan tingkah lakunya harus sesuai etika dan norma yang berlaku di masyarakat. Jika tidak, pejabat publik harus siap dilaporkan.
Rina Sitompul, advokat yang menghadiri diskusi ini mengatakan, banyak pejabat publik yang tidak paham bahwa mereka memiliki peraturan dan standar etika yang harus dipatuhi. Padahal sepatutnya pejabat publik cepat mempelajari apa-apa tugas dan standar etikanya, menjaga amanah rakyat. (ts-02)