HeadlineOpini

Komunitas Lokal Menjaga Pangan

611
×

Komunitas Lokal Menjaga Pangan

Share this article
Dua anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Penghijauan Maju Bersama di Dusun X Paluh Baru, Desa Pasar Rawa, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat tengah menunjukkan produk pangan lokal yang mereka hasilkan. KTH Penghijauan Maju Bersama ini telah membuktikan bahwa komunitas lokal bisa tampil sebagai garda terdepan menjaga ketersediaan pangan secara berkelanjutan.

Kisah Inspiratif KTH Maju Bersama di Tengah Krisis Pangan dan Lingkungan

Oleh Puput Julianti Damanik

Pertumbuhan penduduk di Indonesia khususnya Sumatera Utara terus mendorong peningkatan kebutuhan pangan. Namun, produksi domestik belum mampu memenuhi sepenuhnya kebutuhan tersebut.

Dampak perubahan cuaca dan iklim, biaya produksi, keterbatasan teknologi dan infrastruktur membuat produksi pangan kerap fluktuatif. Akibatnya, impor menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

Masalah ini tentu tidak bisa dibiarkan. Ketahanan pangan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau korporasi besar. Kita, sebagai masyarakat juga punya tanggung jawab yang sama.

Tanggung jawab seperti apa yang kita bisa? Banyak pilihannya, pertama bijak dalam mengkonsumsi, mendukung produk lokal hingga kalau bisa terlibat dalam kegiatan produksi pangan itu sendiri dengan skala kecil (urban farming) bisa dilakukan sendiri atau berkelompok seperti yang dilakukan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Penghijauan Maju Bersama di Dusun X Paluh Baru, Desa Pasar Rawa, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat.

KTH Penghijauan Maju Bersama ini telah membuktikan bahwa komunitas lokal bisa tampil sebagai garda terdepan menjaga ketersediaan pangan secara berkelanjutan.

Mereka berangkat dari kesadaran, gotong royong, berinovasi dengan kearifan lokal hingga akhirnya mampu menciptakan sistem pangan yang mandiri.

Yah, gerakan ini berawal dengan modal ‘KESADARAN’ pentingnya menjaga lingkungan, upaya menghijaukan kembali hutan mangrove yang sempat dirusak  masyarakat itu sendiri untuk kebutuhan produksi arang.  Mereka sadar mangrove buka sekedar pohon di pesisir, tapi benteng alami yang melindungi ekosistem dan menopang kehidupan masyarakat.

Kisah ini berawal Kasto Wahyudi, seorang agen pengepul arang yang dibuat warga dari pohon mangrove, Ia juga membeli hasil tangkapan ikan warga. Saat itu sekitar tahun 2008, Yudi (sapaan akrab Kasto Wahyudi) saat berinteraksi dengan warga kerap mendengar keluhan yang sama: hutan mangrove mulai gundul, banjir datang, dan hasil tangkapan ikan semakin menurun.

Berangkat dari situ, Yudi mengajak warga mulai menanam bibit mangrove secara swadaya sejak tahun 2009. Informasi ini disampaikan oleh Sekretaris KTH, Kamaruddin, kepada Tobasatu belum lama ini.

Demi mendapatkan pengakuan, pada 2011 mereka mendirikan KTH Penghijauan Maju Bersama. Komitmen mereka berbuah hasil: pada 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan SK Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) dengan luas ±178 hektare bersama KPH Wilayah I Stabat.

Gerakan pelestarian yang dilakukan Yudi dan rekan-rekannya tidak berhenti pada penanaman mangrove saja. Mereka membangun Saung sebagai tempat wisata di desanya. Mereka membangun berlahan junggle track untuk warga memancing dan melihat hutan mangrove yang sudah kembali menghijau.

Upaya KTH Penghijauan Maju Bersama berbua hasil, mereka membangkitkan kembali populasi udang, kepiting, dan ikan. Mereka bahkan membangun rumpon (rumah ikan) yang membuat panen laut melimpah.

Namun ada satu tantangan baru: ikan baronang kecil yang melimpah justru tak memiliki nilai jual. Dari sinilah muncul ide pengolahan—dipelopori oleh para istri kelompok dan ibu-ibu lainnya di kampung tersebut.

Pada 2022, mereka mulai memproduksi Keripik Ikan Baronang, mengubah ikan yang semula dibuang menjadi produk unggulan. Dalam seminggu, kini sekitar 500 bungkus keripik seharga Rp15.000 ludes terjual. Produksi dilakukan di Saung yang telah dibangun secara swadaya.

Aktivitas di Saung terus berkembang sampai Saung menjadi pusat aktivitas masyarakat, ada warung makan, area berkemah, jungle track hingg pondok-pondok kecil bagi pemancing yang menginap.

Dampaknya luar biasa. Warga tak hanya menikmati hasil laut, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru. Produk baronang crispy memberdayakan para ibu rumah tangga, mengangkat nilai ekonomi desa.

Semangat ini membuktikan bahwa pelestarian alam serta pemanfaatan sumber daya alam yang baik mampu mendukung ketahanan pangan berkelanjutan dan beelahan membangkitkan ekonomi masyarakat.

“Dulu utangnya banyak buk, pinjam di mekar, syariah, koperasi, semua diambilin, sekarang alhamdulilah selesai semua utang bank berjalan itu. Bisa bayar utang, nutupin kebutuhan keluarga dan anak sekolah,”

Kalimat yang disampaikan Salma ke Tobasatu ini terus melekat di ingatan. Salma salah satu ibu rumah tangga yang ikut mengolah keripik ikan baronang dan wanita-wanita lainnya telah membuktikan melalui kreativitas dan kolaborasi, siapa saja bisa   mengubah tantangan menjadi peluang.

Kisah sukses ini mengingatkan kita bahwa sistem pangan yang berkelanjutan bisa diwujudkan secara mandiri oleh masyarakat.  Dengan perorganisasian yang baik, mereka membangun ruang alternatif distribusi hasil alam yang diperoleh warga ke konsumen tanpa bergantung pada rantai distribusi yang panjang dan kadang merugikan.

Mereka membangun sistem yang selaras dengan alam, menghasilkan pangan dengan menjaga hutan. Dengan menguatnya komunitas seperti ini di berbagai daerah di Indonesia khususnya Sumatera Utara, ketahanan pangan nasional bukan sekedar mimpi, gerakan kolektif dari akar rumput ini harus didukung penuh oleh pemerintah karena semangat ini harapan nyata akan masa depan yang lebih berdaulat dan berkelanjutan. (***)